MAKALAH - MAWARIS- WARISAN BAGI ANAK YANG MASIH DALAM KANDUNGAN IBUNYA

                                                              BAB I
                                                                   A. latar Belakang
     Hukum waris menduduki tempat yang amat penting dalam hokum islam. Ayat AL-quran menngatur hokum waris dengan jelas dan terperinci. Hal ini dapat di mengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Dan juga hokum waris langsung menyangkut harta benda yang bapabila tidak diberikan ketentuan pasti, amat mudah menimbulkan sengketa diantara ahli waris. Setiap terjadi per4istiwa kematian seseorang, segera timbu8l pertanyaan bagaimana harta peninggalannya harus diperlakukan dan kepada siapa asaja harta itu di pindahkan, serta bagaimana caranya. Inilah yang di atur di dalam hokum kewarisan.
          Sedemikian penting kedudukan hokum waris dalam hokum islam sehingga hadits nabi riwayat ibnu majah dan addarakuthni mengajarkan,
“pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada orang banyak karena faraid adalah setengah ilmu dan mudah di lupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari umatku.”
             Dalam hadits lain diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal:
“Pelajarilah al-Quran dan ajarkanlah kepada orang banyak; pelajarilah faroid dan ajarkanlah kepada orang banyak karena aku adalah manusia yang pada suatu ketika mati dan ilmupun akan hilang; hampir dua orang bersengketa dalam faroid dan masalahnya, dan mereka tidak menjumpai orang yang memberitahu bagaimana penyelesaiannya”.
         Karena itulah para ulama’ menjadikannya sebagai salah satu cabang ilmu yang berdiri sendiri, yang disebut ilmu faroid, ilmu tentang penbagian warisan. 
Banyak sekali orang-orang berhak mendapatkan warisan dari orang yang sudah meninggal, sebab itu kami akan membahas salah satu dari orang-orang tersebut yaitu” anak yang amsih berada dalam kandungan ibunya”. Meliputi berhak dan tidaknya dan bagiannya.




     B. Pembahasan

a. Pengertian warisan kepada anak yang masih dalam kandungan

       Pengertian anak secara umum yang difahami oleh masyarakat adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu. Sedangkan anak dalam kandungan adalah anak yang masih di dalam kandungan ibunya atau dengan kata lain anak dalam kandungan adalah anak yang masih berada di perut ibunya dan belum dilahirkan. [1] 
        Dalam pembahasan tentang mawaris, di salah satu bab-nya membahas tentang ahli waris tertentu atau yang di ragukan. Termasuk didalamnya adalah warisan bagi anak yang masih dalam kandungan. pada dasarnya, anak baru berhak mendapatkan warisan apabila lahir dalam keadaan hidup, yang ditandai dengan suara tangisan pasca lahir. [2]
         Jadi bisa disimpulkan bahwa ahli waris yang di ragukan adalah ahli waris yang pada saat harta warisan terbuka (pada saat pewaris meninggal dunia) statusnya sebagai subjek hukum atau sebagai pendukung hak dan kewajiban masih diragukan. [3]
        Meskipun demikian, apabila waktu kelahiran masih lama Setelah kematian yang mewariskan, harta warisan sudah dapat di bagikan kepada ahli waris yang ada, tetapi untuk anak dalam kandungan harus disisihkan bagiannya. Besar kecilnya ditentukan mana yang lebih menguntungkan antara diperkirakan laki-laki atau perempuan. Kepastiannya baru di ketahui Setelah anak lahir.
      Anak yang masih ada di dalam kandungan ibunya itu termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan sebagaimana ahli-ahli waris yang lain. Untuk merealisasi hak pewarisannya memerlukan dua syarat, [4]  yaitu: 
1. Sudah berwujud di dalam Rahim ibunya dikala orang yang mewariskan meninggal.
Sebagaimana dimaklumi bahwa pusaka-mempusakai itu adalah menggantikan kedudukan orang yang meninggal dalam memiliki harta bendanya. Sekiranya ia belum berwujud sudah barang tentu tidak tergambar adanya penggantian yang dimaksud. Tingkatan minimal sebagai seorang pengganti adalah ia harus sudah berwujud, sekalipun masih di dalam Rahim ibunya. Sebab sperma yang berada di dalam Rahim ibu itu, selagi tidak hancur, mempunyai zat hidup, karenanya ia dihukumi dengan hidup.
      Atas dasar inilah para fuqaha’ menganggap sah memerdekakan, mewakafi, mewashiyati dan menjadikan ahli waris anak yang masih dalam kandungan.

2. Dilahirkan dalam keadaan hidup

           Disyari’atkan demikian untuk meyakinkan bahwa kandungan itu benar-benar hidup di saat orang yang mewariskan meninggal. Sebab dikala ia masih di dalam kandungan, walaupun sudah dianggap hidup, namun bukan hidup yang sebenar-benarnya hidup. Untuk menetapkan hidupnya bayi yang lahir ada beberapa ciri, antara lain adalah berteriak, bernafas, bergerak dan lain sebagainya. Abu Hurairah ra, mengutip sabda Rasulullah saw yang menjelaskan tanda-tanda hidup ini sebagai berikut: 
“Apabila anak yang dilahirkan itu berteriak, maka diberi pusaka.” (Rw. Pemilik kitab-kitab sunan).
Oleh karena anak dalam kandungan itu tidak berhak mewarisi, kecuali kalau kelahirannya dari Rahim ibunya dalam keadaan hidup, maka jika ia lahir dalam keadaan mati tidak dapat menerima peninggalan yang di sediakan untuknya.
          Cara membagi warisan anak yang masih dalam kandungan dapat dilakukan dengan dua cara [5]: 
a. Tidak usah dibagi dahulu sebelum anak yang masih dalam kandungan itu lahir. Ini  tidak menimbulkan kesulitan, karena sudah diketahui apakah janin itu lahir dalam keadaan sudah meninggal atau dalam keadaan hidup, dan jenis kelaminnya sudah jelas.
b. Harta peninggalan si pewaris tersebut segera dibagikan tanpa menunggu kelahiran anak yang masih dalam kandungan. Ini agak rumit, karena tidak diketahui apakah janin itu dilahirkan dalam keadaan hidup atau meninggal, dan belum jelas kelaminnya, apakah laki-laki atau perempuan.

           Kontradiksi antara adanya tanda-tanda hidup di satu pihak kematian di pihak lain pada seorang anak yang baru vdi lahirkan menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama tentang status hokum dan pusakanya. Misalnya problema seorang bayi yang sudah keluar sebagian besar anggota tubuhnya beserta adanya tanda-tanda hidup, kemudian sesaat Setelah kelahirannya kemudian mati.[6]  Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menurut Imam Malik, Ahmad, Asy-Syafi’i, bahwa anak yang dalam keadaan dilahirkan sebagian anggota tubuhnya beserta adanya tanda-tanda kehidupan kemudian mati,  tidak dapat mewarisi lantaran belum keluar seluruh anggota tubuhnya. Ia di samakan mati sebelum lahir.
2. Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya menetapkan kewarisannya, lantaran mereka mengidentikkan sebagian besar anggota tubuh yang keluar dengan kelahiran yang sempurna, sesuai hadts nabi di atas. Tetapi kalau baru sebagian kecil anggota tubuhnya yang kemudian disusul oleh kematiannya ia tidak dapat mewarisi. 

C. Teks dan Kandungan Hadits Warisan Anak yang Masih dalam kandungan

   Hadits riwayat  Abu Daud No. 2531 [8]
“Telah menceritakan kepada kami Husain bin Mu’adz, telah menceritakan kepada kami Abdul A’la telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Yazid bin Abdullah bin Qusaith dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Apabila seorang anak lahir dengan bersuara (bernyawa) maka dia berhak diberi warisan”. (HR. Abu Daud). 
         Dalam memahami hadist diatas ada dua pendapat ulama. Sebagian ulama yang terdiri dari Ibnu Abbas, Said IbnAl Musayyab, Syureih Ibn Hasan dan Ibn Sirin dari kalangan sahabat berpendapat bahwa bukti kehidupan bayi yang lahir adalah “Istihlal”. Istihlal artinya teriakan atau jeritan bayi yang baru lahir. Cirinya hidup adalah adanya suara, nafas, bersin atau yang serupa dengan itu. [9]
Golongan ulama kedua yang terdiri dari Al-Stauri, Al-Auza’i, Abu hanifah dan sahabat-sahabatnya, Al-syafi’i dan Ahmad  dalam salah satu riwayat dan Daud berpendapat bahwa tanda kehidupan itu dapat diketahui dengan teriakan dan juga dengan cara lain seperti  gerakan tubuh, menyusui dan petunjuk lain yang meyakinkan. [10]
        Dari komentar para ulama di atas, mereka tidak mempertanyakan apakah anak dalam kandungan sebagai ahli waris atau tidak, tetapi hanya mempermasalahkan teknis menentukan hidup atau tidaknya anak. Golongan pertama dengan teriakan ketika lahir, golongan kedua bisa dengan tanda lain seperti bergerak, menyusui dan petunjuk lain. Penentuan hidup atau tidaknya anak memang sangat penting karena sebagai ahli waris harus diyakini dia hidup ketika pewaris meninggal. Dengan demikian kedudukan anak dalam kandungan adalah ahli waris.
          Hal ini dapat kita pahami dari Dr. Badran Abu Inain Badran: “Telah sepakat para ulama bahwa anak yang masih dalam kandungan ibunya termasuk orang yang berhak menerima warisan jika padanya terdapat salah satu sebab dari sebab kewarisan”. [11]  Begitu juga Wahbah Zuhaili menjelaskan: “Jika ahli waris masih dalam bentuk mudhghah (segumpal daging) atau alaqah (segumpal darah) maka hak kewarisannya tetap ada”. [12]
Perlu diketahui, anak dalam kandungan sebagai ahli waris disebut juga dalam ilmu ushul fiqh ahliyatul wujub yang tidak sempurna, ia pantas menerima hak namun belum mampu memenuhi kewajiban.   [13]

D. Kontektualisasi hadits warisan anak yang masih dalam kandungan

     Oleh karena tidak mungkin menentukan apa isi kandungan sebelum ia lahir, maka tidak mungkinlah bagiannya yang sebenarnya. Karena itu di-fardlukan-lah masalah-masalah kandungan ini dengan dua ketentuan, pertama sebagai bayi laki-laki dan kedua sebagai bayi perempuan, maka yang lebih banyak itu yang di simpan untuknya, hingga nyata kelak keadaannya dengan kelahirannya. 
Anak yang berada dalam kandungan itu di pandang sebagai seorang, walaupun mungkin kembar. Demikian pendapat abu yusuf , karena menurut kebiasaan, kandungan itu tidak kembar dan hokum-hukum syara’ didasarkan kepada yang banyak terjadi, bukan kepada yang jarang terjadi. Akan tetapi karena mungkin kandungan itu kembar, maka diambillah dari tiap-tiap waris yang berpengaruh bagiannya bila kandungan itu lahir kembar. [14]





referensi

[1] Fathur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif, 1981, hlm. 77.
[2] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: UII Pres, 2001. Hal. 94.
[3] Suhrawardi, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Lengkap & Praktis, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. hlm. 63.
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris Hukum Pembagian Warisan Menurut Syariat Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet, 4, 2012. Hlm. 231.
[5] Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014, hlm. 89.
[6] Fathur Rahman,op.cit. Hal. 199-200.
[7] Abdurrahman Al-Jazeri, Kitabul Fiqhi ‘Ala Mazdhabil Arba’ah, Juz 3, Beirut: Darul Fikr, 2003. Hal. 227.
[8] Faishal, Terjemah Nailul Authar, Penerjemah: Mu’ammal Hamidy, dkk., Surabaya:PT. Bina Ilmu, 2001, Cet.3, hlm. 2069.
[9] Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Salim Ibn Dhuyani, Manar al-Sabil, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1402 H, Juz II, hlm. 29.
[10] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Mesir: Mathba’ah, 1969), hlm. 384.
[11] Badran Abu Inain Badran, Al Mawarist wal Washiyat wal Hibah fi Syariatil Islamiyah wal Qanun, (Iskandariyah: Syabab Al Jamiah, tt), hlm. 89.
[12] Wahbah Az Zuhaili, Fiqhul Islam Waadhillatuhu, (Mesir: Dar Fikr, tt), hlm.254.
[13] Amir Syarifudin, Permasalahan dalam Pelaksanaan Faraid, (Padang: IAIN-IB Press, 1999), hlm. 1. 
[14] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit, hal. 232-233.







DAFTAR PUSTAKA
[1] Rahman, Fathur, Ilmu Waris, Bandung: Alma’arif, 1975. Hal. 199-200.
[2] Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: UII Pres, 2001.
[3] Suhrawardi, Simanjuntak Komis, Hukum Waris Islam Lengkap & Praktis, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
[4] Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Fiqh Mawaris Hukum Pembagian Warisan Menurut Syariat Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet, 4, 2012. 
[5] Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014.


Al-Jazeri, Abdurrahman, Kitabul Fiqhi ‘Ala Mazdhabil Arba’ah, Juz 3, Beirut: Darul Fikr, 2003.
Faishal, Terjemah Nailul Authar, Penerjemah: Mu’ammal Hamidy, dkk., Surabaya:PT. Bina Ilmu, 2001, Cet.3.
Ibn Muhammad Ibn Salim Ibn Dhuyani, Ibrahim, Manar al-Sabil, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1402 H, Juz II.
Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, Mesir: Mathba’ah, 1969.

Tag : Makalah
0 Komentar untuk "MAKALAH - MAWARIS- WARISAN BAGI ANAK YANG MASIH DALAM KANDUNGAN IBUNYA"

Back To Top