A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Imam empat
serangkai adalah Imam-imam Mazdhab Fiqih dalam Islam. Mereka Imam-imam bagi
Mazdhab empat yang berkembang dan terkenal. Mereka
adalah: Abu Hanifah
Annu’man, Malik bin Annas, Muhammad bin Idris Asy-syafi’i, Ahmad bin Muhammad
bin Hanbal.
Karena
pengorbanan dan bakti mereka yang besar terhadap agama Islam yang suci,
khususnya dalam bidang Ilmu Fiqih mereka telah sampai ke peringkat atau
kedudukan yang baik dan tinggi. Peninggalan mereka merupakan amalan Ilmu Fiqih
yang besar dan abadi yang menjadi kemegahan agama Islam dan kaum muslimin
umumnya.
Karena
kemasyhurannya dalam ilmu Fiqih di samping usaha-usaha mereka yang
bermacam-macam terhadap agama Islam, nama-nama mereka sangat dikenal sampai
sekarang.
Dari ke empat
mazdhab tersebut, kami akan menyajikan karya tulis yang spesifikasinya membahas
tentang biografi, sosio-histori, metodologi, dan karakteristik Imam Asy-Syafi’i.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka penulis perlu merumuskan masalah-masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini, diantaranya:
1.
Bagaimana Biografi Muhammad Ibn Idris Asy-Safi’i?
2.
Bagaimana Sosio-Historis Kehidupan Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i?
3.
Bagaimana Metodologi Tasyri’ Imam Asy-Syafi’i?
4.
Bagaimana Karakteristik Hukum Islam Masa Imam Asy-Syafi’i?
3.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulis makalah
ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui Biografi Muhammad Ibn Idris Asy-Safi’i?
2.
Untuk mengetahui Sosio-Historis Kehidupan Muhammad Ibn Idris
Asy-Syafi’i?
3.
Untuk mengetahui Metodologi Tasyri’ Imam Asy-Syafi’i?
4.
Untuk mengetahui Karakteristik Hukum Islam Masa Imam Asy-Syafi’i?
B.
BIOGRAFI MUHAMMAD IBN IDRIS ASY-SAFI’I
Muhammad ibn
Idris ialah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn Sa’ib, ibn
Ubaid, ibn Abdu Yazid, ibn Hakim, ibn Mutthalib, ibn Abdu Manaf. Pada Abdu
Manaflah bertemu silsilah nasab Asy-Syafi’i dengan Rasulullah SAW.
Mutthalib
adalah salah seorang dari anak-anak Abdu
Manaf yaitu: Mutthalib, Hasyim, Abdu Syams kakek golongan Amawiyah, dan Naufal
kakek Zubair ibn Muth’in. Mutthalib inilah yang mendidik Abdu Mutthalib anak
saudaranya Hasyim, kakek Rasulullah SAW. Banu Mutthalib dan Banu Hasyim
merupakan suatu rumpun dan selalu bertentangan dengan Banu Abdu Syams dimasa
jahiliyah. Hal ini berlaku terus didalam Islam.[1]
Imam
Asy-Syafi’i di lahirkan di Kota Ghazzah ‘Palestina’ pada tahun 105 H. Tarikh
inilah yang termasyhur dikalangan ahli sejarah. Adapula yang mengatakan beliau
di lahirkan di Ashqalan yaitu sebuah wilayah yang jauhnya dari Ghazzah kurang
lebih 3 km dan tidak jauh juga dari Baitul Makdis, ada juga pendapat yang
mengatakan beliau di lahirkan di Negeri Yaman.
Yakut
menceritakan bahwa Imam Asy-Syafi’i pernah menceritakan: aku di lahirkan di
Negeri Yaman, ibuku bimbang aku tidak terurus, lalu aku di bawa ke Makkah,
umurku pada waktu itu kurang lebih 10 tahun.
Untuk
menyatukan antara pendapat-pendapat tersebut di atas pernah di katakan bahwa
beliau di lahirkan di Ghazzah dan dibesarkan di Ashqalan, dan penduduk Asqalan
semuanya dari kabilah orang Yaman, dan inilah maksud bagi mereka yang
mengatakan beliau di lahirkan di Yaman, atau dengan kata lain beliau di
lahirkan di kalangan orang Yaman. Yakut telah menceritakan ke tiga riwayat
tersebut kemudian katanya: tidak menjadi syak lagi bahwa Imam Asy-Syafi’i di
lahirkan di Kota Ghazzah, beliau berpindah ke Ashqalan dan tinggal di sana
hingga remaja.[2]
C.
SOSIO-HISTORIS KEHIDUPAN MUHAMMAD IBN IDRIS ASY-SYAFI’I
Imam Asy-Syafi’i
hidup sebagai seorang putra yatim yang fakir dari keturunan bangsawan tinggi,
keturunan yang paling tinggi di masanya. Karenanya Imam Asy-Syafi’i hidup dalam
keadaan sangat sederhana. Namun kedudukannya sebagai putra berbangsa,
menyebabkan ia terpelihara dari perangai-perangai buruk, tidak menyukai
kehinaan diri, berjiwa besar. Dan karenanya ia hidup dalam keadaan bergaul
rapat dalam masyarakat dan mempelajari penderitaan-penderitaan mereka.[3]
Sebagai seorang
anak, Imam Asy-Syafi’i adalah seorang
putra yang cerdas dan cemerlang, selalu giat belajar ilmu-ilmu keislaman yang
azasi. Seperti halnya setiap anak muslim pada masa itu, dia mulai dengan
belajar Al-Quran dan “ahatam” (tamat) menghafalnya pada usia menjelang tujuh tahun.
Selama waktu itu, kitab karya Imam Malik, Al-Muwattha’ merupakan buku hadits
dan fiqih yang paling di kenal diberbagai kawasan dunia muslim.Imam Asy-Syafi’i
telah hafal seluruh isi Al-Muwattha’ pada usia lima belas tahun. Dia mempelajari
masalah hukum islam dibawah bimbingan seorang Ulama kenamaan, Muslim Al-Kholid
Al-Zamji, Mufti Makkah (wafat pada tahun 180 H/796 M), dan Sofyan bin Uyainah
(wafat 198 H/813 M).[4]
Imam
Asy-Syafi’i sudah hafal Al-Qur’an dalam usia yang sangat dini ketika masih di Ghazzah
dan ketika beliau berada di Makkah, Imam Asy-Syafi’i mulai belajar Hadits dari
beberapa guru Hadits. Imam Asy-Syafi’i juga sangat rajin menghafal dan menulis
sunnah Rasulullah SAW, kemudian beliau pergi ke pelosok desa untuk mengasah
ketajaman bahasa dari kabilah “Hudzail”[5],
menghafal sya’ir dan cerita Kabilah, dan mendalami Bahasa Arab. Imam
Asy-Syafi’i juga belajar ilmu memanah dan sangat mahir, bahkan jika beliau
melepaskan sepuluh anak panah maka semuanya akan mengenai sasaran, dan dengan
ini maka sempurnalah baginya proses pendidikan yang agung dan tinggi.
Banyak manfaat
yang di dapat oleh Imam Asy-Syafi’i ketika beliau berada di pedesaan ini, baik
berupa penguasaan Bahasa dan Sya’ir yang dapat membantunya dalam memahami
kandungan Al-Quran, dan terkadang Imam Asy-Syafi’i berdalil dengan Sya’ir untuk
menentukan ma’na lafal.
Kemudian Imam
Asy-Syafi’i kembali ke Makkah untuk belajar Ilmu Agama. Beliau belajar Ilmu
Fiqih dan Hadits dari guru-gurunya dan ketika beliau mendengar bahwa di Madinah
ada Imam Malik bin Anas, beliaupun ingin segera pergi dan menemuinya. Imam
Asy-Syafi’i pergi ke Madinah setelah beliau menghafal kitab Al-Muwattha’ karya
Imam Malik.[6]
Beliau
meninggalkan kota Makkah menuju Madinah untuk belajar kepada Imam Malik bin
Anas, seorang ulama dari Fuqaha termasyhur di sana pada waktu itu. Beliau
melanjutkan pelajarannya itu bersama Imam Malik bin Anas pada usia dua puluh
tahun, sampai gurunya meninggal pada tahun179 H/796 M. Pada saat wafatnya Imam
Malik, Asy-Syafi’i telah meraih reputasi sebagai seorang Fuqaha yang masyhur di
Hikaz dan berbagai tempat lainnya.[7]
Menurut
kenyataan sejarah, di masa Asy-Syafi’i belajar kepada Imam Malik, sering juga
mengadakan perlawatan ke kota-kota Islam, mempelajari keadaan masyarakat dan kehidupan mereka dan
sering kembali ke Makkah untuk mengunjungi ibunya dan meminta
nasihat-nasihatnya.[8]
IMAM ASY-SYAFI’I BEKERJA
Pada masa
remaja, Imam Asy-Syafi’i merasakan beliau telah mendapat ilmu dengan sekedar
mencukupi, oleh karena itu beliau bercita-cita hendak bekerja untuk mencari
nafkah hidupnya karena beliau adalah seorang yang miskin.
Cita-cita ini
timbul setelah Imam Malik meninggal dunia. Dengan secara kebetulan, seorang
Gubernur Yaman datang melawat Hijaz. Beberapa orang Quraisy memberitahukan
kepada Gubernur itu supaya mengambil Imam Asy-Syafi’i untuk bekerja di Negeri
Yaman. Permintaan tersebut di terima, oleh karena itu Imam Asy-Syafi’i menyewa
sebuah bilik untuk keperluan dirinya. Kemudian beliau memegang jabatan di
“Najran”. Keadilan dan kejujuran Imam Asy-Syafi’i di ketahui oleh orang banyak.
Banyak dari penduduk Najran yang mencoba mengusir kedudukan beliau, tetapi
mereka tidak berhasil.[9]
Pada tahun 184
H, Imam Asy-Syafi’i di bawa ke Baghdad dengan tuduhan menentang Dinasti
Abbasyiah. Akan tetapi, tuduhan ini tidak terbukti dan ternyata kedatangannya
ke Baghdad ini menjadi berkah tersendiri, karena di sana beliau bertemu dengan
dengan para fuqaha’ yang ada di sana, seperti Muhammad bin Al-Hasan
Asy-Syaibani, sahabat Imam Abu Hanifah. Imam Asy-Syafi’i pun belajar ilmu fiqh
darinya sehingga beliau dapat menggabungkan fiqh Hijaz dan Iraq. Setelah itu
beliau datang kembali ke Makkah dengan membawa ilmu fiqh orang-orang Iraq untuk
mengajar dan memberi fatwa, membandingkan antara berbagai pendapat yang berbeda-beda
kemudian memilih salah satunya. Oleh karena itu, beliau tinggal lebih lama di
Makkah, sekitar sembilan tahun sehingga beliau sudah dapat lepas dari gaya
ikut-ikutan, dan dapat menghadapi semua masalah dengan ijtihad mandiri dengan
bimbingan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Pada ahirnya beliau dapat
melahirkan kaidah baru dalam meng-istinbat- hukum yang kemudian di beri nama
ilmu ushul fiqih.
Para ulama
sebelumnya memiliki manhaj dan gaya tersendiri dalam ijtihad, namun masih
dengan isyarat yang sangat jelas dan masih global. Kemudian datanglah Imam
Asy-Syafi’i yang tidak hanya memberi isyarat, tetapi justru menjelaskan dasar
ijtihadnya, termasuk beberapa aturan yang di laksanakan oleh seorang mujtahid
dalam meng-istinbat hukum.
Guna memperdalam
dan menyebarkan manhaj istinbat yang sudah di kuasainya, beliau merantau ke
Baghdad pada tahun 195 H untuk merealisasikan tujuannya. Di sanalah beliau
menulis kitab monumentalnya dalam ushul fiqih, Ar-Risalah, dan Al-Mabshut dalam
bidang furu’ Fiqih. Dengan perjalanan ini beliau memiliki banyak murid yang
kemudian menyebarkan mazhabnya di Negeri bagian Timur, termasuk yang berada di
seberang sungai Eufrat.[10]
Sangat di
sayangkan bahwa perbedaan pendapat para ulama itu tidak dapat di terima oleh
para pengikut yang berpikiran picik dari golongan terpelajar tertentu seperti
yang dapat di lihat dalam kasus perbedaan pendapat antara Imam Asy-Syafi’i
denngan gurunya Imam Malik. Di katakan bahwa seorang lelaki yang disebut Fityan,
seorang pengikut Imam Malik di Mesir di kalahkan dalam beberapa perdebatan
dengan Asy-Syafi’i selama beliau menyampaikan pelajaran dan pengajaran.
Akibatnya suatu ketika setelah memberikan pelajaran para pengikut Fityan
menyerang Asy-Syafi’i, sehingga beliau terluka parah. Beberapa hari kemudia
beliau wafat. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa Imam Asy-Syafi’i
menderita suatu penyakit usus yang gawat membuatnya sangat lemah pada
tahun-tahun terahir Bulah Rajab tahun 204 H/20 Januari 820 M di kota tua Cairo,
Mesir. Beliau di makamkan dekat Bukit Al-Muqattam. Sekitar empat Abad setelah
wafatnya, di makamnya itu di bangun sebuah Mansoleum berkubah besar, oleh
sultan Ayyubiyah, Malik Al-Kamil pada tahun 608 H/1212 M.[11]
D.
METODOLOGI TASYRI’ IMAM ASY-SYAFI’I
Imam
Asy-Syafi’i menyusun mazhabnya dan melepaskan diri dari mazhab Imam Malik
adalah sesudah sesudah meninggalkan Baghdad dalam perlawatan yang pertama tahun
184. Sebelum itu, Imam Asy-Syafi’i terkenal sebagai seorang yang membela mazhab
Imam Malik dan mempertahankan pendapat ulama Madinah hingga di namailah beliau
dengan “Nashirus
Sunnah”.
Hal ini adalah hasil dari mempertemukan antara Fiqih Madinah dengan Fiqih Iraq.
Sesudah Asy-Syafi’i bermukim di Iraq dalam waktu yang lama, Imam Asy-Syafi’i
merasakan perlu adanya suatu Fiqih baru yang terdiri dari gabungan Fiqih Iraq
dan Fiqih Madinah. Imam Asy-Syafi’i mempelajari Fiqih Imam Malik sebagai
peneliti dan pengkritik, bukan sebagai seorang yang fanatik. Maka di
dapatkanlah beberapa kelemahan dalam Mazhab Imam Malik, sebagai mana di
ketemukan beberapa kelemahan dalam mazhab Iraq.[12]
Metode tasyri’
Imam Asy-Syafi’i sangat faktualistik, hampir tidak memberi peluang sedikitpun
bagi fantasi pribadi. Beliau mendasarkan metodenya atas peristiwa-peristiwa
yang sangat konkrit: datangnya kata-kata tertentu kepada orang-orang tertentu
dalam kondisi-kondisi tertentu; makna dari peristiwa-peristiwa tersebut harus
tergantung pada makna yang pasti dari kata-kata tersebut bagi orang-orang
tersebut dalam kondisi seperti itu (secara tak sengaja, beliau mencatat betapa
pentingnya bagi kita untuk memiliki suatu pengetahuan yang mendalam tentang
perbedaan-perbedaan kecil dalam tata Bahasa Arab Mudlari’ pada masa Muhammad).
Terutama beliau melangkah lebih jauh kearah penyingkiran semua keputusan
semena-mena, ra’y, oleh seorang Hakim yang semata-mata didasarkan pada rasa
keadilan personal: seorang Hakim harus menunjukkan beberapa dasar-dasar
tertentu bagi keputusannya dalam apa yang telah di pandang oleh orang-orang
salih sebagai baik dan benar; dan ia harus membuktikan dasar tersebut melalui
kriteria yang ketat, baik secara linguistik maupun logis.[13]
Terlepas dari polemik
tentang peletak batu fondasi Ushul Fiqih, pemikiran Imam Asy-Syafi’i yang
di tuangkan dalam Al-Risalah dan Al-Umm-nya, secara langsung maupun tidak, ikut
mempengaruhi pemikiran Ushuliyun generasi berikutnya. Apresiasi positif
terhadap karyanya merupakan bentuk pengakuan terhadap kecemerlangan
intelektualitasnya. Ahman Hasan misalnya, meskipun dia melontarkan berbagai
macam kritik tajam terhadap Imam Asy-Syafi’i, namun dia mengakui keberhasilan
Imam Asy-Syafi’i dalam memperkenalkan suatu metodologi yang menghasilkan sistem
Hukum yang integral dan stabil. Menurutnya, di anatara jasa Imam Asy-Syafi’i
yang kemudian di ikuti oleh ahli Hukum berikutnya adalah pengklasifikasian ayat
Al-Quran menjadi ‘amm (general) dan khass (particular). Demikian
juga tentang pembagian pernyataan Al-Quran menurut klasifikasi-klasifikasi
lain; seperti, makna zahir-batin, dan lain-lainnya.
Di dalam al-Risalah,
Imam Asy-Syafi’i mengklasifikasikan ilmu menjadi dua macam; yaitu, ‘ilmu
‘ammah dan ‘ilmukhassah. Ilmua ‘amm dimaksudkannya sebagai
pengetahuan yang tak boleh diabaikan dalam keadaan bagaimanapun juga oleh
seorang muslim yang sudah dewasa, dan sehat jiwanya; bahkan hal ini merupakan
kewajiban baginya untuk mengetahuinya dengan baik. Alasannya adalah, bahwa
pengetahuan jenis ini merupakan hal mendasar dalam Islam. Pengetahuan ini
meliputi, perintah-perinta yang wajib dan laranga-larangan. Seperti, sholat
lima waktu, Puasa Ramadan, Zakat, Haji, larangan zina, membunuh, mencuri, minum
khamr, dan sejenisnya.
Sedangkan ‘ilmu
khass oleh Imam Asy-Syafi’i dimaksudkan sebagai pengetahuan yang berkaitan
dengan perincian-perincian dari kewajiban pokok (furu’ al-fara’id) yang
tak disebutkan secara jelas baik di dalam Al-Quran maupun Al-Sunnah. Menurutnya
kewajiban mencaripengetahuan ‘ilmu khassah tersebut tidak mengikat bagi
orang banyak pada umumnya, maupun semua cerdik cendikiawan, tetapi sudah cukup
bila di ketahui oleh sejumlah orang saja (man fih bi al kifayah).
Artinya, bila sudah ada orang yang mengetahuinya, maka yang lain tidak
mengandung dosa, meskipun orang yang mengetahui lebih utama dari pada orang
yang tidak mengetahui.[14]
Dalam
menetapkan Fiqhnya, Imam Asy-Syafi’i menggunakan lima sumber:
1.
Nash-nash, yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah yang merupakan sumber utama
bagi Fiqh Islam, dan selain keduanya adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang
sepakat atau berbeda pendapat, tetapi mereka tidak pernah bertentangan Al-Quran
atau Al-Sunnah.
Dalam
menjelaskan masalah furu’iyah, Imam Asy-Syafi’i meletakkan Ilmu tentang Al-Sunnah,
sama dengan Ilmu tentang Al-Quran agar
istinbat hukum tidak meleset.
2.
Ijma’, merupakan salah satu dasar yang di jadikan sebagai hujjah
oleh Imam Asy-Syafi’i, menempati urutan setelah Al-Quran dan Al-Sunnah. Beliau
mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama suatu zaman tertentu terhadap satu
masalah hukum syar’i dengan
bersandar kepada dalil.
3.
Pendapat para Sahabat, Imam Asy-Syafi’i mengambil pendapat para
Sahabat dalam dua mazdhab jadid dan qodimnya.
4.
Qiyas, beliau menilainya sebagai sebuah bentuk ijtihad, ketika
berbicara tentang dasar-dasar istinbat Imam Asy-Syafi’i, beliau sama dengan
menggali makna-makna nash atau menguatkan salah satu pendapat untuk mencapai
pendapat yang lebih mudah.[15]
E.
KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM MASA IMAM ASY-SYAFI’I
Imam Asy_Syafi’i
adalah seorang yang suci jiwanya dari kecemaran-kecemaran dunia dan seorang
yang ikhlas benar dalam mencari kebenaran dan ma’rifat. Beliau mencari ilmu
karena Allah, dan dalam mencari ilmu beliau menuju kepada jalan yang lurus,
Imam Asy-Syafi’i senantiasa berlaku ihlas dalam mencari kebenaran. Karenanya
apabila keihlasannya kepada hakikat berlawanan dengan keihlasan kepada guru,
maka beliau mengutamakan keihlasannya kepada kebenaran dan inilah sebabnya
beliau mengumumkan pertentangan kepada Imam Malik setelah beliau mengetahui
bahwa masyarakat Andalus mendewakan Imam Malik dan meninggalkan Hadits lantaran
berlawanan dengan pendapat Imam Malik. Dan inilah sebabnya beliau berdiskusi dengan gurunya
Muhammad ibn Al Hasan dan kadang-kadang bersifat tajam. Bahkan lantaran amat
ihlasnya kepada mencari kebenaran maka beliau ingin supaya orang mengambil
manfa’at dengan ilmunya tanpa mengatakan bahwa ilmu itu adalah ilmu Imam Asy-Syafi’i.
Imam Asy-Syafi’i hidup dalam masa pemerintahan Abbasyiyah, yaitu masa gemilangnya
pemerintahan itu. Di masa inilah lahir usaha mengembangkan aneka ilmu, dan
usaha mempelajari falsafah Yunani, kebudayaan persi dan pengetahuan india.
Dalam masa ini telah banyak orang yang di pengaruhi jalan pikiran mereka
oleh falsafah-falsafah yang mendatang itu dan menentang pikiran-pikiran yang
teah lama berkembang walaupun pikiran-pikiran itu baik dan perlu di
pertahankan.
Oleh karena ulama dimasa itu harus bertindak membasmikan kesesatan yang
di timbulkan oleh golongan zindik, maka perlulah para ulama mempelajari
cara-cara berdalil yang di pergunakan ahli falsafah. Ulama-ulama mu’tazilah
mengambil tugas ini. Dengan keahlian yang cukup tinggi, mereka menghadapi
golongan zindik. Sehingga para Khulafah terpikat hatinya kepada ulama-ulama
Mu’tazilah.
Para fuqaha tidak menyukai sikap ulama Mu’tazilah
karena berlainan dengan jalan yang di tempuh para salaf dalam
menghadapi Aqidah dan jalan yang di tempuh ahli Hadits dan ahli Hukum. Walaupun
kedua golongan ini satu tujuan, yaitu mempertahankan Islam,
namun mereka tidak dapat bertemu, karena berlainan jalan pikiran.
Berkenaan dengan perkembangan ilmu yang pesat pada masa Abbasyiyah, para
ulama’pun membukukan ilumu-ilmunya. Inilah di antara ciri
khas masa Abbasyiyah. Dan mulailah ilmu-ilmu itu berbeda satu
sama lainnya. Ulama lughah membukukan kaidah-kaidah Nahwu dan Shorof. Fuqaha
Madinah mengumpulkan fatwa-fatwa ibn Umar, A’isyah dan ibn Abbas dan
fatwa-fatwa para tabi’in. pekerjaan ini telah dimulai dimasa Amawiyah. Fuqaha
Iraq mengumpulkan fatwa-fatwa ibn Mas’ud, Ali, putusan-putusan syuriah dan
lain-lain.
Maka dalam masa ini, penyusunan kitab-kitab Hadits disusun sebagaimana
penyusunan kitab-kitab fiqih, berbab. Juga demikian ulama-ulama syi’ah
membukukan pendapat-pendapat mereka. Abu Yusuf menyusun kitab Al-Kharraj kitab
Al-Khilaf baina Abi Hanifah wabni Abi laila. Muhammad ibn Al-Hasan membukukan
fiqih Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya.[16]
[1] Hasbi Ash Siddieqy, Pokok-pokok pegangan IMAM-IMAM MAZHAB Dalam
Membina Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974) cet. I, Jilid II, Hal.
234.
[2] Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab,
(Semarang: Amzah, 1991), Hal. 141-142.
[5] Kabilah Hudzail adalah suatu kabilah yang terkenal sebagai suatu
kabilah yang paling baik Bahasa Arabnya. Imam Asy-Syafi’i banyak menghafal Sya’ir-sya’ir
dan qashidah dari Kabilah Hudzail. (Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab,
Hal. 143.).
[6]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam,
(Jakarta: Amzah, 2009), cet. I, Hal. 185-186.
[7] Op cit,. Hal. 160.
[8]Loc cit. Hal. 236.
[9]Loc cit. Hal.
146.
[13] Marshal G. S. Hodgson, The Venture Of Islam, (Jakarta:
Paramadina, 2002), Buku Kedua, Hal. 128-129.
[14] A.Qodri Azizy, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam,
(Yogyakarta: Gama Media, 2002), cet I. Hal. 221-222.
[16] Ibid,. Pokok-pokok pegangan IMAM-IMAM MAZHAB Dalam Membina
Hukum Islam, jilid II, Hal. 240-245.
0 Komentar untuk "News"