News

A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Imam empat serangkai adalah Imam-imam Mazdhab Fiqih dalam Islam. Mereka Imam-imam bagi Mazdhab empat yang berkembang dan terkenal. Mereka adalah: Abu Hanifah Annu’man, Malik bin Annas, Muhammad bin Idris Asy-syafi’i, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal.
Karena pengorbanan dan bakti mereka yang besar terhadap agama Islam yang suci, khususnya dalam bidang Ilmu Fiqih mereka telah sampai ke peringkat atau kedudukan yang baik dan tinggi. Peninggalan mereka merupakan amalan Ilmu Fiqih yang besar dan abadi yang menjadi kemegahan agama Islam dan kaum muslimin umumnya.
Karena kemasyhurannya dalam ilmu Fiqih di samping usaha-usaha mereka yang bermacam-macam terhadap agama Islam, nama-nama mereka sangat dikenal sampai sekarang.
Dari ke empat mazdhab tersebut, kami akan menyajikan karya tulis yang spesifikasinya membahas tentang biografi, sosio-histori, metodologi, dan karakteristik Imam Asy-Syafi’i.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis perlu merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya:
1.      Bagaimana Biografi Muhammad Ibn Idris Asy-Safi’i?
2.      Bagaimana Sosio-Historis Kehidupan Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i?
3.      Bagaimana Metodologi Tasyri’ Imam Asy-Syafi’i?
4.      Bagaimana Karakteristik Hukum Islam Masa Imam Asy-Syafi’i?



3.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulis makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui Biografi Muhammad Ibn Idris Asy-Safi’i?
2.      Untuk mengetahui Sosio-Historis Kehidupan Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i?
3.      Untuk mengetahui Metodologi Tasyri’ Imam Asy-Syafi’i?
4.      Untuk mengetahui Karakteristik Hukum Islam Masa Imam Asy-Syafi’i?



B.     BIOGRAFI MUHAMMAD IBN IDRIS ASY-SAFI’I
Muhammad ibn Idris ialah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn Sa’ib, ibn Ubaid, ibn Abdu Yazid, ibn Hakim, ibn Mutthalib, ibn Abdu Manaf. Pada Abdu Manaflah bertemu silsilah nasab Asy-Syafi’i dengan Rasulullah SAW.
Mutthalib adalah salah seorang dari anak-anak  Abdu Manaf yaitu: Mutthalib, Hasyim, Abdu Syams kakek golongan Amawiyah, dan Naufal kakek Zubair ibn Muth’in. Mutthalib inilah yang mendidik Abdu Mutthalib anak saudaranya Hasyim, kakek Rasulullah SAW. Banu Mutthalib dan Banu Hasyim merupakan suatu rumpun dan selalu bertentangan dengan Banu Abdu Syams dimasa jahiliyah. Hal ini berlaku terus didalam Islam.[1]
Imam Asy-Syafi’i di lahirkan di Kota Ghazzah ‘Palestina’ pada tahun 105 H. Tarikh inilah yang termasyhur dikalangan ahli sejarah. Adapula yang mengatakan beliau di lahirkan di Ashqalan yaitu sebuah wilayah yang jauhnya dari Ghazzah kurang lebih 3 km dan tidak jauh juga dari Baitul Makdis, ada juga pendapat yang mengatakan beliau di lahirkan di Negeri Yaman.
Yakut menceritakan bahwa Imam Asy-Syafi’i pernah menceritakan: aku di lahirkan di Negeri Yaman, ibuku bimbang aku tidak terurus, lalu aku di bawa ke Makkah, umurku pada waktu itu kurang lebih 10 tahun.
Untuk menyatukan antara pendapat-pendapat tersebut di atas pernah di katakan bahwa beliau di lahirkan di Ghazzah dan dibesarkan di Ashqalan, dan penduduk Asqalan semuanya dari kabilah orang Yaman, dan inilah maksud bagi mereka yang mengatakan beliau di lahirkan di Yaman, atau dengan kata lain beliau di lahirkan di kalangan orang Yaman. Yakut telah menceritakan ke tiga riwayat tersebut kemudian katanya: tidak menjadi syak lagi bahwa Imam Asy-Syafi’i di lahirkan di Kota Ghazzah, beliau berpindah ke Ashqalan dan tinggal di sana hingga remaja.[2]
C.    SOSIO-HISTORIS KEHIDUPAN MUHAMMAD IBN IDRIS ASY-SYAFI’I
Imam Asy-Syafi’i hidup sebagai seorang putra yatim yang fakir dari keturunan bangsawan tinggi, keturunan yang paling tinggi di masanya. Karenanya Imam Asy-Syafi’i hidup dalam keadaan sangat sederhana. Namun kedudukannya sebagai putra berbangsa, menyebabkan ia terpelihara dari perangai-perangai buruk, tidak menyukai kehinaan diri, berjiwa besar. Dan karenanya ia hidup dalam keadaan bergaul rapat dalam masyarakat dan mempelajari penderitaan-penderitaan mereka.[3]
Sebagai seorang anak, Imam  Asy-Syafi’i adalah seorang putra yang cerdas dan cemerlang, selalu giat belajar ilmu-ilmu keislaman yang azasi. Seperti halnya setiap anak muslim pada masa itu, dia mulai dengan belajar Al-Quran dan “ahatam” (tamat) menghafalnya pada usia menjelang tujuh tahun. Selama waktu itu, kitab karya Imam Malik, Al-Muwattha’ merupakan buku hadits dan fiqih yang paling di kenal diberbagai kawasan dunia muslim.Imam Asy-Syafi’i telah hafal seluruh isi Al-Muwattha’  pada usia lima belas tahun. Dia mempelajari masalah hukum islam dibawah bimbingan seorang Ulama kenamaan, Muslim Al-Kholid Al-Zamji, Mufti Makkah (wafat pada tahun 180 H/796 M), dan Sofyan bin Uyainah (wafat 198 H/813 M).[4]
Imam Asy-Syafi’i sudah hafal Al-Qur’an dalam usia yang sangat dini ketika masih di Ghazzah dan ketika beliau berada di Makkah, Imam Asy-Syafi’i mulai belajar Hadits dari beberapa guru Hadits. Imam Asy-Syafi’i juga sangat rajin menghafal dan menulis sunnah Rasulullah SAW, kemudian beliau pergi ke pelosok desa untuk mengasah ketajaman bahasa dari kabilah “Hudzail”[5], menghafal sya’ir dan cerita Kabilah, dan mendalami Bahasa Arab. Imam Asy-Syafi’i juga belajar ilmu memanah dan sangat mahir, bahkan jika beliau melepaskan sepuluh anak panah maka semuanya akan mengenai sasaran, dan dengan ini maka sempurnalah baginya proses pendidikan yang agung dan tinggi.
Banyak manfaat yang di dapat oleh Imam Asy-Syafi’i ketika beliau berada di pedesaan ini, baik berupa penguasaan Bahasa dan Sya’ir yang dapat membantunya dalam memahami kandungan Al-Quran, dan terkadang Imam Asy-Syafi’i berdalil dengan Sya’ir untuk menentukan ma’na lafal.
Kemudian Imam Asy-Syafi’i kembali ke Makkah untuk belajar Ilmu Agama. Beliau belajar Ilmu Fiqih dan Hadits dari guru-gurunya dan ketika beliau mendengar bahwa di Madinah ada Imam Malik bin Anas, beliaupun ingin segera pergi dan menemuinya. Imam Asy-Syafi’i pergi ke Madinah setelah beliau menghafal kitab Al-Muwattha’ karya Imam Malik.[6]
Beliau meninggalkan kota Makkah menuju Madinah untuk belajar kepada Imam Malik bin Anas, seorang ulama dari Fuqaha termasyhur di sana pada waktu itu. Beliau melanjutkan pelajarannya itu bersama Imam Malik bin Anas pada usia dua puluh tahun, sampai gurunya meninggal pada tahun179 H/796 M. Pada saat wafatnya Imam Malik, Asy-Syafi’i telah meraih reputasi sebagai seorang Fuqaha yang masyhur di Hikaz dan berbagai tempat lainnya.[7]
Menurut kenyataan sejarah, di masa Asy-Syafi’i belajar kepada Imam Malik, sering juga mengadakan perlawatan ke kota-kota Islam, mempelajari  keadaan masyarakat dan kehidupan mereka dan sering kembali ke Makkah untuk mengunjungi ibunya dan meminta nasihat-nasihatnya.[8]
IMAM ASY-SYAFI’I BEKERJA
Pada masa remaja, Imam Asy-Syafi’i merasakan beliau telah mendapat ilmu dengan sekedar mencukupi, oleh karena itu beliau bercita-cita hendak bekerja untuk mencari nafkah hidupnya karena beliau adalah seorang yang miskin.
Cita-cita ini timbul setelah Imam Malik meninggal dunia. Dengan secara kebetulan, seorang Gubernur Yaman datang melawat Hijaz. Beberapa orang Quraisy memberitahukan kepada Gubernur itu supaya mengambil Imam Asy-Syafi’i untuk bekerja di Negeri Yaman. Permintaan tersebut di terima, oleh karena itu Imam Asy-Syafi’i menyewa sebuah bilik untuk keperluan dirinya. Kemudian beliau memegang jabatan di “Najran”. Keadilan dan kejujuran Imam Asy-Syafi’i di ketahui oleh orang banyak. Banyak dari penduduk Najran yang mencoba mengusir kedudukan beliau, tetapi mereka tidak berhasil.[9]
Pada tahun 184 H, Imam Asy-Syafi’i di bawa ke Baghdad dengan tuduhan menentang Dinasti Abbasyiah. Akan tetapi, tuduhan ini tidak terbukti dan ternyata kedatangannya ke Baghdad ini menjadi berkah tersendiri, karena di sana beliau bertemu dengan dengan para fuqaha’ yang ada di sana, seperti Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani, sahabat Imam Abu Hanifah. Imam Asy-Syafi’i pun belajar ilmu fiqh darinya sehingga beliau dapat menggabungkan fiqh Hijaz dan Iraq. Setelah itu beliau datang kembali ke Makkah dengan membawa ilmu fiqh orang-orang Iraq untuk mengajar dan memberi fatwa, membandingkan antara berbagai pendapat yang berbeda-beda kemudian memilih salah satunya. Oleh karena itu, beliau tinggal lebih lama di Makkah, sekitar sembilan tahun sehingga beliau sudah dapat lepas dari gaya ikut-ikutan, dan dapat menghadapi semua masalah dengan ijtihad mandiri dengan bimbingan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Pada ahirnya beliau dapat melahirkan kaidah baru dalam meng-istinbat- hukum yang kemudian di beri nama ilmu ushul fiqih.
Para ulama sebelumnya memiliki manhaj dan gaya tersendiri dalam ijtihad, namun masih dengan isyarat yang sangat jelas dan masih global. Kemudian datanglah Imam Asy-Syafi’i yang tidak hanya memberi isyarat, tetapi justru menjelaskan dasar ijtihadnya, termasuk beberapa aturan yang di laksanakan oleh seorang mujtahid dalam meng-istinbat hukum.
Guna memperdalam dan menyebarkan manhaj istinbat yang sudah di kuasainya, beliau merantau ke Baghdad pada tahun 195 H untuk merealisasikan tujuannya. Di sanalah beliau menulis kitab monumentalnya dalam ushul fiqih, Ar-Risalah, dan Al-Mabshut dalam bidang furu’ Fiqih. Dengan perjalanan ini beliau memiliki banyak murid yang kemudian menyebarkan mazhabnya di Negeri bagian Timur, termasuk yang berada di seberang sungai Eufrat.[10]
Sangat di sayangkan bahwa perbedaan pendapat para ulama itu tidak dapat di terima oleh para pengikut yang berpikiran picik dari golongan terpelajar tertentu seperti yang dapat di lihat dalam kasus perbedaan pendapat antara Imam Asy-Syafi’i denngan gurunya Imam Malik. Di katakan bahwa seorang lelaki yang disebut Fityan, seorang pengikut Imam Malik di Mesir di kalahkan dalam beberapa perdebatan dengan Asy-Syafi’i selama beliau menyampaikan pelajaran dan pengajaran. Akibatnya suatu ketika setelah memberikan pelajaran para pengikut Fityan menyerang Asy-Syafi’i, sehingga beliau terluka parah. Beberapa hari kemudia beliau wafat. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa Imam Asy-Syafi’i menderita suatu penyakit usus yang gawat membuatnya sangat lemah pada tahun-tahun terahir Bulah Rajab tahun 204 H/20 Januari 820 M di kota tua Cairo, Mesir. Beliau di makamkan dekat Bukit Al-Muqattam. Sekitar empat Abad setelah wafatnya, di makamnya itu di bangun sebuah Mansoleum berkubah besar, oleh sultan Ayyubiyah, Malik Al-Kamil pada tahun 608 H/1212 M.[11]
D.    METODOLOGI TASYRI’ IMAM ASY-SYAFI’I
Imam Asy-Syafi’i menyusun mazhabnya dan melepaskan diri dari mazhab Imam Malik adalah sesudah sesudah meninggalkan Baghdad dalam perlawatan yang pertama tahun 184. Sebelum itu, Imam Asy-Syafi’i terkenal sebagai seorang yang membela mazhab Imam Malik dan mempertahankan pendapat ulama Madinah hingga di namailah beliau dengan “Nashirus Sunnah. Hal ini adalah hasil dari mempertemukan antara Fiqih Madinah dengan Fiqih Iraq. Sesudah Asy-Syafi’i bermukim di Iraq dalam waktu yang lama, Imam Asy-Syafi’i merasakan perlu adanya suatu Fiqih baru yang terdiri dari gabungan Fiqih Iraq dan Fiqih Madinah. Imam Asy-Syafi’i mempelajari Fiqih Imam Malik sebagai peneliti dan pengkritik, bukan sebagai seorang yang fanatik. Maka di dapatkanlah beberapa kelemahan dalam Mazhab Imam Malik, sebagai mana di ketemukan beberapa kelemahan dalam mazhab Iraq.[12]
Metode tasyri’ Imam Asy-Syafi’i sangat faktualistik, hampir tidak memberi peluang sedikitpun bagi fantasi pribadi. Beliau mendasarkan metodenya atas peristiwa-peristiwa yang sangat konkrit: datangnya kata-kata tertentu kepada orang-orang tertentu dalam kondisi-kondisi tertentu; makna dari peristiwa-peristiwa tersebut harus tergantung pada makna yang pasti dari kata-kata tersebut bagi orang-orang tersebut dalam kondisi seperti itu (secara tak sengaja, beliau mencatat betapa pentingnya bagi kita untuk memiliki suatu pengetahuan yang mendalam tentang perbedaan-perbedaan kecil dalam tata Bahasa Arab Mudlari’ pada masa Muhammad). Terutama beliau melangkah lebih jauh kearah penyingkiran semua keputusan semena-mena, ra’y, oleh seorang Hakim yang semata-mata didasarkan pada rasa keadilan personal: seorang Hakim harus menunjukkan beberapa dasar-dasar tertentu bagi keputusannya dalam apa yang telah di pandang oleh orang-orang salih sebagai baik dan benar; dan ia harus membuktikan dasar tersebut melalui kriteria yang ketat, baik secara linguistik maupun logis.[13]
Terlepas dari polemik tentang peletak batu fondasi Ushul Fiqih, pemikiran Imam Asy-Syafi’i yang di tuangkan dalam Al-Risalah dan Al-Umm-nya, secara langsung maupun tidak, ikut mempengaruhi pemikiran Ushuliyun generasi berikutnya. Apresiasi positif terhadap karyanya merupakan bentuk pengakuan terhadap kecemerlangan intelektualitasnya. Ahman Hasan misalnya, meskipun dia melontarkan berbagai macam kritik tajam terhadap Imam Asy-Syafi’i, namun dia mengakui keberhasilan Imam Asy-Syafi’i dalam memperkenalkan suatu metodologi yang menghasilkan sistem Hukum yang integral dan stabil. Menurutnya, di anatara jasa Imam Asy-Syafi’i yang kemudian di ikuti oleh ahli Hukum berikutnya adalah pengklasifikasian ayat Al-Quran menjadi ‘amm (general) dan khass (particular). Demikian juga tentang pembagian pernyataan Al-Quran menurut klasifikasi-klasifikasi lain; seperti, makna zahir-batin, dan lain-lainnya.
Di dalam al-Risalah, Imam Asy-Syafi’i mengklasifikasikan ilmu menjadi dua macam; yaitu, ‘ilmu ‘ammah dan ‘ilmukhassah. Ilmua ‘amm dimaksudkannya sebagai pengetahuan yang tak boleh diabaikan dalam keadaan bagaimanapun juga oleh seorang muslim yang sudah dewasa, dan sehat jiwanya; bahkan hal ini merupakan kewajiban baginya untuk mengetahuinya dengan baik. Alasannya adalah, bahwa pengetahuan jenis ini merupakan hal mendasar dalam Islam. Pengetahuan ini meliputi, perintah-perinta yang wajib dan laranga-larangan. Seperti, sholat lima waktu, Puasa Ramadan, Zakat, Haji, larangan zina, membunuh, mencuri, minum khamr, dan sejenisnya.
Sedangkan ‘ilmu khass oleh Imam Asy-Syafi’i dimaksudkan sebagai pengetahuan yang berkaitan dengan perincian-perincian dari kewajiban pokok (furu’ al-fara’id) yang tak disebutkan secara jelas baik di dalam Al-Quran maupun Al-Sunnah. Menurutnya kewajiban mencaripengetahuan ‘ilmu khassah tersebut tidak mengikat bagi orang banyak pada umumnya, maupun semua cerdik cendikiawan, tetapi sudah cukup bila di ketahui oleh sejumlah orang saja (man fih bi al kifayah). Artinya, bila sudah ada orang yang mengetahuinya, maka yang lain tidak mengandung dosa, meskipun orang yang mengetahui lebih utama dari pada orang yang tidak mengetahui.[14]
Dalam menetapkan Fiqhnya, Imam Asy-Syafi’i menggunakan lima sumber:
1.      Nash-nash, yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah yang merupakan sumber utama bagi Fiqh Islam, dan selain keduanya adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi mereka tidak pernah bertentangan Al-Quran atau Al-Sunnah.
Dalam menjelaskan masalah furu’iyah, Imam Asy-Syafi’i meletakkan Ilmu tentang Al-Sunnah, sama dengan Ilmu tentang Al-Quran agar istinbat hukum tidak meleset.
2.      Ijma’, merupakan salah satu dasar yang di jadikan sebagai hujjah oleh Imam Asy-Syafi’i, menempati urutan setelah Al-Quran dan Al-Sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama suatu zaman tertentu terhadap satu masalah hukum syar’i dengan bersandar kepada dalil.
3.      Pendapat para Sahabat, Imam Asy-Syafi’i mengambil pendapat para Sahabat dalam dua mazdhab jadid dan qodimnya.
4.      Qiyas, beliau menilainya sebagai sebuah bentuk ijtihad, ketika berbicara tentang dasar-dasar istinbat Imam Asy-Syafi’i, beliau sama dengan menggali makna-makna nash atau menguatkan salah satu pendapat untuk mencapai pendapat yang lebih mudah.[15]

E.     KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM MASA IMAM ASY-SYAFI’I
Imam Asy_Syafi’i adalah seorang yang suci jiwanya dari kecemaran-kecemaran dunia dan seorang yang ikhlas benar dalam mencari kebenaran dan ma’rifat. Beliau mencari ilmu karena Allah, dan dalam mencari ilmu beliau menuju kepada jalan yang lurus, Imam Asy-Syafi’i senantiasa berlaku ihlas dalam mencari kebenaran. Karenanya apabila keihlasannya kepada hakikat berlawanan dengan keihlasan kepada guru, maka beliau mengutamakan keihlasannya kepada kebenaran dan inilah sebabnya beliau mengumumkan pertentangan kepada Imam Malik setelah beliau mengetahui bahwa masyarakat Andalus mendewakan Imam Malik dan meninggalkan Hadits lantaran berlawanan dengan pendapat Imam Malik. Dan inilah sebabnya beliau berdiskusi dengan gurunya Muhammad ibn Al Hasan dan kadang-kadang bersifat tajam. Bahkan lantaran amat ihlasnya kepada mencari kebenaran maka beliau ingin supaya orang mengambil manfa’at dengan ilmunya tanpa mengatakan bahwa ilmu itu adalah ilmu Imam Asy-Syafi’i.
Imam Asy-Syafi’i hidup dalam masa pemerintahan Abbasyiyah, yaitu masa gemilangnya pemerintahan itu. Di masa inilah lahir usaha mengembangkan aneka ilmu, dan usaha mempelajari falsafah Yunani, kebudayaan persi dan pengetahuan india.
Dalam masa ini telah banyak orang yang di pengaruhi jalan pikiran mereka oleh falsafah-falsafah yang mendatang itu dan menentang pikiran-pikiran yang teah lama berkembang walaupun pikiran-pikiran itu baik dan perlu di pertahankan.
Oleh karena ulama dimasa itu harus bertindak membasmikan kesesatan yang di timbulkan oleh golongan zindik, maka perlulah para ulama mempelajari cara-cara berdalil yang di pergunakan ahli falsafah. Ulama-ulama mu’tazilah mengambil tugas ini. Dengan keahlian yang cukup tinggi, mereka menghadapi golongan zindik. Sehingga para Khulafah terpikat hatinya kepada ulama-ulama Mu’tazilah.
Para fuqaha tidak menyukai sikap ulama Mu’tazilah karena berlainan dengan jalan yang di tempuh para salaf dalam menghadapi Aqidah dan jalan yang di tempuh ahli Hadits dan ahli Hukum. Walaupun kedua golongan ini satu tujuan, yaitu mempertahankan Islam, namun mereka tidak dapat bertemu, karena berlainan jalan pikiran.
Berkenaan dengan perkembangan ilmu yang pesat pada masa Abbasyiyah, para ulamapun membukukan ilumu-ilmunya. Inilah di antara ciri khas masa Abbasyiyah. Dan mulailah ilmu-ilmu itu berbeda satu sama lainnya. Ulama lughah membukukan kaidah-kaidah Nahwu dan Shorof. Fuqaha Madinah mengumpulkan fatwa-fatwa ibn Umar, A’isyah dan ibn Abbas dan fatwa-fatwa para tabi’in. pekerjaan ini telah dimulai dimasa Amawiyah. Fuqaha Iraq mengumpulkan fatwa-fatwa ibn Mas’ud, Ali, putusan-putusan syuriah dan lain-lain.
Maka dalam masa ini, penyusunan kitab-kitab Hadits disusun sebagaimana penyusunan kitab-kitab fiqih, berbab. Juga demikian ulama-ulama syi’ah membukukan pendapat-pendapat mereka. Abu Yusuf menyusun kitab Al-Kharraj kitab Al-Khilaf baina Abi Hanifah wabni Abi laila. Muhammad ibn Al-Hasan membukukan fiqih Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya.[16]




[1] Hasbi Ash Siddieqy, Pokok-pokok pegangan IMAM-IMAM MAZHAB Dalam Membina Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974) cet. I, Jilid II, Hal. 234.
[2] Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Semarang: Amzah, 1991), Hal. 141-142.
[3]Ibid, Hal. 234.
[4] Abdur Rahman I.,Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1989), Hal. 159-160.
[5] Kabilah Hudzail adalah suatu kabilah yang terkenal sebagai suatu kabilah yang paling baik Bahasa Arabnya. Imam Asy-Syafi’i banyak menghafal Sya’ir-sya’ir dan qashidah dari Kabilah Hudzail. (Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Hal. 143.).
[6]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), cet. I, Hal. 185-186.
[7] Op cit,. Hal. 160.
[8]Loc cit. Hal. 236.
[9]Loc cit. Hal. 146.
[10] Ibid,Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, Hal. 186-187.s
[11]Ibid,Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam, Hal. 163.
[12]Ibid,. Pokok-pokok pegangan IMAM-IMAM MAZHAB Dalam Membina Hukum Islam,jilid II, Hal. 260.
[13] Marshal G. S. Hodgson, The Venture Of Islam, (Jakarta: Paramadina, 2002), Buku Kedua, Hal. 128-129.
[14] A.Qodri Azizy, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), cet I. Hal. 221-222.
[15]Ibid,. Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, Hal. 189-190.
[16] Ibid,. Pokok-pokok pegangan IMAM-IMAM MAZHAB Dalam Membina Hukum Islam, jilid II, Hal. 240-245.
0 Komentar untuk "News"

Back To Top